Ketika berbicara tentang aktivisme, banyak yang mengaitkannya dengan pergerakan sosial besar atau protes di jalan. Namun, bagiku, aktivisme adalah lebih dari itu—ia adalah perjalanan pribadi, sebuah kontribusi nyata untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Aku adalah Aulia Nabila atau biasa dipanggil Bella, dan di sinilah aku sekarang, berkecimpung di dunia yang mungkin tidak terlalu familiar bagi banyak orang: dunia Tuli. Perjalanan ini dimulai dari hati, berangkat dari empati, dan tumbuh menjadi sebuah komitmen hidup.
Awal Perkenalan dengan Dunia Tuli
Perkenalan pertamaku dengan komunitas Tuli dimulai pada tahun 2018, di Banyumas. Saat itu, aku masih mencari diriku sendiri, mencoba menemukan makna dari kehidupan ini. Kemudian, aku bertemu dengan teman-teman Tuli yang mengajakku bergabung sebagai volunteer di sebuah organisasi Tuli. Aku mulai terlibat dalam kelas BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia), membantu masyarakat dengar untuk belajar bahasa isyarat. Namun, perjalanan ini tidak berhenti di situ. Suatu hari, aku diajak oleh seorang senior Tuli ke sebuah desa di Banyumas untuk bertemu dengan seorang anak Tuli.
Anak ini tinggal bersama neneknya dan, sayangnya, telah putus sekolah sejak SD. Lebih menyedihkan lagi, anak ini tidak pernah bertemu dengan orang tuanya. Saat bertemu dengannya, ada sesuatu yang bergerak dalam hatiku. Aku melihat bagaimana ketidakadilan akses pendidikan menjerat anak-anak Tuli seperti dia. Di situlah, aku memutuskan untuk mendedikasikan hidupku dalam memperjuangkan hak-hak mereka, terutama di sektor pendidikan.
“Ketika aku bertemu dengan anak Tuli yang tidak bersekolah, hatiku bergerak murni. Dari sana, aku sadar betapa pentingnya pendidikan yang setara bagi mereka.”
Aktivisme dan Perubahan Sosial
Menjadi aktivis bagi isu-isu Tuli tidak hanya tentang membantu komunitas ini mendapatkan hak-haknya. Lebih dari itu, aku belajar bahwa aktivisme adalah tentang menciptakan perubahan sosial. Bagiku, menjadi relawan adalah salah satu bentuk aktivisme, karena kita berusaha mendorong perubahan melalui aksi nyata.
Aku menyadari bahwa dunia Tuli memiliki banyak tantangan, dari minimnya pengakuan terhadap BISINDO sebagai bahasa yang sah hingga kurangnya kesadaran masyarakat tentang hak-hak Tuli dalam pendidikan. Namun, justru di situlah letak perjuangan kami. Bersama dengan Deaf Ally, aku dan komunitas Tuli berusaha untuk mengadakan sosialisasi, pelatihan BISINDO, serta membangun kesadaran tentang pentingnya inklusivitas dalam pendidikan.
Tidak bisa dipungkiri, banyak tantangan yang kami hadapi, seperti stereotip dan diskriminasi. Suatu ketika, kami mencoba bekerja sama dengan sebuah sekolah untuk mengadakan pelatihan BISINDO. Namun, kami tidak diperlakukan dengan baik. Rasanya sangat menyakitkan, tapi kami tidak menyerah. Bersama dengan teman-teman Tuli dan Deaf Ally, kami memutuskan untuk mempertahankan perjuangan ini demi kebaikan bersama.
Inspirasi yang Menggerakkan
Sebagai aktivis, aku memiliki dua tokoh yang sangat menginspirasi hidupku. Yang pertama adalah Maudy Ayunda, seorang perempuan yang aktif dalam bidang pendidikan dan pemberdayaan perempuan. Aku melihat bagaimana Maudy menggunakan posisinya untuk menciptakan dampak positif di masyarakat. Selain itu, ada Helen Keller, seorang aktivis perempuan Tuli Netra asal Amerika yang berjuang untuk hak-hak komunitas Tuli. Mereka berdua memperjuangkan akses pendidikan yang layak bagi semua orang, terlepas dari kondisi mereka.
Helen Keller khususnya memberiku banyak pelajaran hidup. Dia tidak hanya mendobrak stereotip tentang perempuan, tetapi juga membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk mencapai tujuan besar. Dari mereka, aku belajar bahwa aktivisme bukan hanya tentang bicara atau protes, melainkan tentang tindakan nyata yang dapat mengubah kehidupan banyak orang.
Komitmen Terhadap Pendidikan Tuli
Salah satu fokus utama dari perjuanganku adalah memastikan bahwa anak-anak Tuli mendapatkan akses pendidikan yang setara. Di Indonesia, kurikulum SLB untuk anak-anak Tuli saat ini masih menggunakan SIBI. Namun, sayangnya, BISINDO belum sepenuhnya diakui oleh masyarakat atau pemerintah. Padahal, bahasa ini adalah kunci untuk menciptakan inklusivitas bagi komunitas Tuli. Oleh karena itu, salah satu impianku adalah agar BISINDO dapat dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah, sehingga anak-anak Tuli dapat belajar dengan cara yang lebih inklusif dan setara.
Aku percaya bahwa pendidikan bukan hanya tentang memberikan pengetahuan, tetapi juga tentang memberdayakan individu. Aku ingin anak-anak Tuli di Indonesia bisa mendapatkan hak yang sama seperti anak-anak dengar lainnya. Melalui pendidikan, mereka bisa belajar berpikir kritis, memahami dunia di sekitar mereka, dan memiliki kesempatan yang sama untuk sukses di masa depan.
Menjadi Penggerak: Lebih dari Sekadar Aktivis
Aku lebih suka menyebut diriku sebagai penggerak, bukan hanya aktivis. Menjadi penggerak memberiku rasa tanggung jawab yang lebih besar terhadap perubahan sosial. Aku merasa senang ketika bisa berkomitmen pada tujuan besar seperti menciptakan inklusivitas bagi teman-teman Tuli. Meskipun kadang berat, aku percaya bahwa perjalanan ini adalah bagian dari proses untuk mencapai sesuatu yang lebih besar.
Banyak orang berpikir bahwa menjadi aktivis tidak memberikan imbalan materi, tetapi bagiku, imbalan itu datang dalam bentuk lain. Ketika aku melihat bagaimana masyarakat mulai lebih sadar tentang isu-isu Tuli, ketika mereka mulai belajar bahasa isyarat, dan ketika anak-anak Tuli mulai mendapatkan akses pendidikan yang lebih baik, itulah imbalan terbesar bagiku. Aku merasa bahwa perjuangan ini tidak sia-sia.
Menuju Masa Depan yang Lebih Inklusif
Aku optimis dengan masa depan aktivisme di Indonesia, terutama di bidang inklusivitas bagi Tuli. Namun, tentu saja, masih banyak yang harus diperjuangkan. Salah satunya adalah memastikan bahwa BISINDO diakui secara resmi oleh pemerintah dan masyarakat luas. Dengan demikian, kita bisa membangun fondasi yang kuat untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara bagi semua, termasuk teman-teman Tuli.
Aku juga percaya bahwa generasi muda sekarang memiliki potensi besar untuk melanjutkan perjuangan ini. Banyak dari mereka yang mulai sadar akan pentingnya inklusivitas dan hak asasi manusia. Mereka memiliki kekuatan untuk membawa perubahan sosial yang lebih besar di masa depan.
Menjadi aktivis bukanlah sesuatu yang harus ditakuti atau dihindari. Justru, ini adalah panggilan untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik. Tidak perlu takut untuk mengambil langkah kecil, karena setiap kontribusi yang kita berikan, sekecil apa pun, memiliki dampak besar bagi orang lain. Aku percaya bahwa kita semua bisa menjadi agen perubahan, selama kita memiliki niat dan komitmen untuk melakukannya.
Jadi, mari bergerak bersama. Jadilah bagian dari perubahan sosial!
Ingin lebih dekat dengan isu disabilitas? Kamu bisa bergabung menjadi relawan di berbagai komunitas melalui Indorelawan, untuk berkontribusi lebih dalam memperjuangkan inklusivitas.
Penulis: Nabila Aprisanti
Penyunting: Renita Yulistiana