Memperingati Hari Pendidikan Nasional, kita diingatkan kembali bahwa pendidikan tidak hanya soal nilai akademik. Ia adalah tentang nilai-nilai hidup, tentang menyemai empati sejak usia dini. Di tengah gemuruh dunia yang cepat ini, ada sosok seperti Anggi Widi Shafira—guru PAUD sekaligus relawan, yang menunjukkan bahwa pendidikan sejatinya bisa tumbuh dari hal-hal yang paling sederhana.
Namaku Anggi Widi Shafira. Aku seorang guru toddler (Pre-School) yang setiap hari berkegiatan bersama anak-anak usia dini. Meski latar belakang pendidikanku adalah Desain Produk—yang sering dianggap kurang relevan dalam dunia pendidikan—aku justru menemukan cara untuk menghubungkan keduanya. Sebagai spesialis di bidang seni, aku mengajak anak-anak bereksperimen lewat permainan, menciptakan karya sederhana, dan mengenal dunia dengan cara yang menyenangkan.
Di luar ruang kelas, aku juga aktif sebagai fasilitator Komunitas Kumbo dan menjadi Relawan Super Sosmed di Indorelawan. Dunia anak-anak adalah ruang belajar yang terus hidup, tak hanya di sekolah tapi juga di komunitas. Dan dari semua hal yang aku lakukan, satu benang merah yang aku temukan, yaitu: membentuk karakter melalui kasih sayang dan kepedulian.

Dari Luka Lama, Lahir Dorongan untuk Membantu
Keinginanku untuk terlibat dalam kegiatan sosial tumbuh dari pengalaman pribadi. Sejak kecil aku sering dibully dan dianggap sebelah mata. Aku tahu rasanya merasa tidak berdaya dan sendirian. Ketika aku mulai bangkit dan mengenali diriku sendiri, aku tahu bahwa aku ingin membantu orang lain merasakan hal yang sama: merasa cukup, merasa kuat, dan merasa layak.
Makanya aku mulai aktif di dunia relawan. Aku ingin orang lain merasakan bahwa mereka tidak sendiri, bahwa mereka layak untuk dibantu. Tapi aku juga belajar pentingnya membuat batasan, agar tidak terjebak jadi people pleaser.
“Ketika aku susah, orang-orang di sekitarku tidak ada yang membantu. Rasanya sedih banget. Makanya aku gak mau orang lain merasakan hal yang sama.”
Hal lainnya yang aku lakukan adalah memberi makan kucing jalanan. Awalnya hanya karena kasihan melihat anak kucing sendirian di halaman rumahku. Namun sejak itu, aku selalu sedia makanan kucing saat keluar rumah. Aku merasa berbagi bukan hanya ke manusia, tapi juga ke hewan dan tanaman. Bagiku, itu cara paling tulus untuk menumbuhkan empati dalam diri sendiri.

Membentuk Karakter lewat Kebiasaan Sehari-hari
Sebagai guru, aku percaya bahwa pendidikan karakter dan empati harus ditanamkan sejak dini—terutama pada masa golden age. Di kelas, aku tidak hanya mengajarkan kognitif dan sensorik, tapi juga nilai-nilai sederhana, seperti: sopan santun, konsep berbagi, kerja sama, serta cara menghargai makhluk hidup.
Aku sering mengajak murid-muridku memberi makan kucing di sekitar sekolah. Bukan hanya untuk menyenangkan mereka, tapi agar mereka belajar bahwa semua makhluk hidup, termasuk hewan dan tumbuhan, punya hak untuk disayang dan diperhatikan. Lewat hal kecil seperti ini, anak belajar tentang kasih sayang, keberanian berinteraksi dengan hewan, dan simpati.
Selain itu, aku juga mengenalkan kebutuhan dasar seperti makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal. Ketika anak-anak menyadari bahwa temannya juga punya kebutuhan yang sama, mereka akan paham tentang konsep berbagi. Bahkan aku mengajak mereka mengunjungi panti asuhan agar mereka tahu bahwa teman sebayanya yang serba kekurangan itu memang nyata—bukan sekadar fantasi.
Menurutku, tantangan terbesar sebagai pendidik zaman sekarang adalah mengenalkan batas dan sopan santun di tengah derasnya arus informasi digital. Anak-anak cepat menyerap informasi, tapi belum tentu bisa memilah. Itulah kenapa peran guru dan lingkungan sangat penting dalam menumbuhkan filter dari dalam diri mereka.
Menemukan Makna Lewat Momen Kecil
Dua momen paling berkesan dalam hidupku sejauh ini sangat sederhana, tapi penuh makna. Pertama, saat aku memberi makan kucing jalanan, lalu mereka mulai menungguku datang dan menunjukkan gestur seperti berterima kasih. Aku merasa, kasih sayang mereka begitu tulus. Mungkin lebih tulus dari manusia. Kedua, adalah ketika orang tua murid mengapresiasi caraku mengajar. Di situ aku merasa lebih termotivasi dan semakin semangat. Dari hal tersebut, aku jadi belajar tentang parenting, dan pengalaman ini bisa jadi bekal ketika aku menikah dan berkeluarga nanti.
Jujur saja, motivasi terbesarku untuk tetap memberi bukan cuma semangat idealis. Aku juga harus bertahan dari komplikasi autoimun. Aku ingin tetap bermanfaat, selama aku mampu. Di antara semua orang yang mendukungku, ada satu sosok spesial yang selalu aku sebut sebagai “Oska-don” versiku. Dia sahabatku dari SMA, dia yang mengizinkan aku untuk tidak apa-apa jika ingin beristirahat, berhenti sejenak, dan gak harus selalu sok kuat. Dan dukungan seperti itu benar-benar tak ternilai harganya.
Mimpi, Harapan, dan Warisan yang Ingin Ditinggalkan
Kalau suatu hari aku bisa menjalankan program pendidikan impianku, aku ingin membangun sistem pendidikan seni dan sosial yang adaptif, kreatif, dan inovatif. Pendidikan harus bisa mengikuti perkembangan zaman dan karakter setiap generasi. Gen Alpha dan nantinya Gen Beta, pasti punya cara belajar yang berbeda. Dan kurikulum pun harus mampu menyesuaikan, bukan memaksa.
Di Hari Pendidikan Nasional ini, harapan terbesarku bukan cuma untuk murid yang mendapatkan akses dan fasilitas pendidikan yang memadai, tapi juga untuk guru. Guru juga manusia. Kami perlu diperhatikan, diapresiasi, dan diberi tunjangan yang layak.
“Semoga semua guru juga sejahtera dengan diperhatikan kebutuhan dan perjuangannya dalam mencerdaskan anak bangsa.”
Harapanku kalau suatu hari nanti aku tidak lagi bisa mengajar, aku ingin mewariskan hal-hal yang paling dasar tapi penting: keberanian, ketangguhan, sopan santun, serta rasa empati dan kasih sayang kepada siapapun yang pernah hadir dalam perjalananku.
Yuk, Mulai dari Langkah Paling Kecil
Dari ruang kelas hingga ke jalanan, aku belajar bahwa pendidikan bisa hadir di mana saja. Lewat tangan kecil yang memberi makanan ke kucing, lewat senyuman anak yang belajar sopan santun, atau lewat komunitas yang mempertemukan banyak hati baik.
Kalau kamu ingin ikut berkontribusi dalam dunia pendidikan dan sosial, kamu bisa mulai dari langkah terkecil yang paling dekat denganmu. Gabung jadi relawan di komunitas pendidikan, sosial, atau lingkungan lewat Indorelawan.org. Karena kebaikan tidak harus besar untuk bermakna. #JadiAktivis
Reporter dan Penulis: Nabila Aprisanti
Penyunting: Renita Yulistiana
Cerita dan dokumentasi hasil dari wawancara bersama narasumber