Dafit, Menjadi Penggerak Lewat Teknologi: Sunyi, Tapi Berdampak

Dafit, Menjadi Penggerak Lewat Teknologi: Sunyi, Tapi Berdampak

Aktivisme tidak selalu harus turun ke jalan. Tidak pula harus menyuarakan protes lewat megafon. Bagi Dafit Ody Endriantono, aktivisme bisa lahir dari balik layar komputer, dari solder yang membakar pelan kaki-kaki komponen elektronik, atau dari sesi mengajar anak-anak tentang cara membuat LED berkedip.

Lahir dari keluarga sederhana, Dafit kehilangan ayah sejak usia lima tahun. Sejak itu, ia dibesarkan oleh ibu, kakek, nenek, dan om. Latar belakang pendidikan mereka biasa saja, tapi mereka selalu percaya pada satu hal: pendidikan adalah jalan keluar, dan dari situlah segalanya bermula.

“Keterbatasan bukan alasan untuk berhenti bermimpi.” Kalimat yang terdengar sederhana tapi penuh bobot.

Rasa Ingin Tahu dan Mesin-Mesin Kecil

Minat Dafit pada teknologi tumbuh sejak ia duduk di bangku SMK. Tapi pertanyaannya tidak pernah sebatas “gadget apa yang paling canggih”. Ia lebih tertarik pada satu hal: bagaimana teknologi bisa membantu orang lain hidup lebih baik? Pertanyaan ini menuntunnya masuk ke Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS), tempat ia mulai bersentuhan dengan riset dan robotika.

Di sana, ia menjadi bagian dari tim pengembang APITABOT, alat berbasis Internet of Things (IoT) yang membantu petani akuaponik mengelola tanamannya secara efisien.

“Aku pengin teknologi yang nggak cuma keren, tapi juga relevan dengan masalah masyarakat,” ujarnya.

Dari Surabaya ke Jepang

Dafit kemudian mendapat kesempatan mengikuti program riset di Kanagawa Institute of Technology, Jepang. Di negeri yang terkenal dengan efisiensi dan inovasinya ini, ia melihat langsung bagaimana teknologi tidak hanya hadir sebagai produk, tapi sebagai solusi.

“Di sana, teknologi benar-benar hadir untuk kehidupan. Dan aku ingin membawa semangat itu pulang.”

Aku juga berharap ada kebijakan yang bisa mendorong lahirnya lebih banyak brand teknologi buatan Indonesia di berbagai sektor. Jadi, bukan cuma jadi pengguna teknologi dari luar, tapi benar-benar bisa jadi pencipta. Kita punya sumber daya manusia yang luar biasa. Tinggal bagaimana negara hadir sebagai pendukung utama.

“Kalau kita mau Indonesia maju dan mandiri secara teknologi, ya harus dimulai dari sekarang—dari anak mudanya, dari risetnya, dan dari keberanian untuk bilang bahwa teknologi karya anak bangsa juga bisa bersaing di dunia.”

Aktivisme yang Diam-Diam

Jauh sebelum riset ke Jepang, Dafit sudah lebih dulu mengenal kerja sosial. Ia aktif dalam program Elka Mengajar dan menjadi relawan untuk mengajarkan dasar elektronika untuk anak-anak SD di Keputih. Pelajaran sederhana seperti membuat lampu LED menyala bisa menjadi pintu masuk mengenalkan logika, kreativitas, dan rasa percaya diri pada anak-anak.

Ia juga menjadi Duta Penggerak Literasi Papua Barat, mengunjungi sekolah-sekolah dan berbagi soal literasi, dari kelas di Kampung Inggris Pare hingga sekolah dasar di kawasan Timur Indonesia.

Membuka Pintu Lewat Kerupuk Lele

Bagi Dafit, perubahan tidak selalu datang dari laboratorium. Ia pernah membuka usaha kerupuk lele tanpa MSG, dan mengajak ibu-ibu sekitar rumahnya untuk ikut produksi.

“Lewat hal kecil pun, aku bisa berdampak untuk orang lain.”

Tak ada slogan besar, tak ada poster-poster mentereng. Tapi ada dampak yang dirasakan langsung oleh lingkungan sekitar.

Mimpi yang Valid

Dafit tak pernah membayangkan bisa sampai ke titik ini. Beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) menjadi pintu yang mengantarnya ke dunia riset dan pengabdian. Baginya, bisa kuliah adalah pencapaian besar. Bukan karena titel, tapi karena ia tahu betul apa artinya kesempatan, dan bagaimana memanfaatkannya.

“Riset itu bukan cuma tentang coding atau kabel. Tapi tentang mimpi, dan bagaimana kamu mewujudkannya.”

Aktivisme Itu Bisa Lewat Apa Saja

Hari ini, Dafit masih melanjutkan perjalanannya. Ia punya mimpi agar riset dan inovasi teknologi bisa lebih didukung di Indonesia. Ia ingin anak-anak muda percaya bahwa aktivisme bisa dilakukan lewat apa pun, termasuk lewat alat, data, dan ide.

“Kamu nggak harus jadi orang besar dulu untuk mulai berdampak.”

Bagi kamu yang ingin mempelajari lebih lanjut tentang isu-isu sosial dan terlibat langsung dalam kegiatan relawan, aku mengajak kalian untuk bergabung dengan komunitas yang ada di Indorelawan. Sebuah platform yang mempertemukan relawan dengan berbagai organisasi sosial di Indonesia dan mengambil peran jadi aktivis lewat kerelawanan.

Penulis: Nabila Aprisanti
Penyunting: Renita Yulistiana
Cerita dan dokumentasi hasil interview bersama narasumber

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *