Ketika lini masa media sosial kita dipenuhi dengan video-video karakter seperti “Tung Tung Sahur”, “Bombardiro Crocodillo”, atau “Ballerina Cappucina”, banyak dari kita mungkin hanya sekadar tertawa, bingung, atau bahkan melewati begitu saja. Namun, tahukah kamu bahwa di balik tren absurd ini, tersembunyi fenomena sosial yang mengundang banyak tanya dan perlu kita pahami bersama?
Fenomena ini dikenal sebagai brainrot, atau dalam konteks tren terbaru, dikenal pula sebagai konten anomali. Artikel ini mengajak kita semua, terutama para relawan, orang tua, dan pegiat literasi digital, untuk duduk sejenak dan bertanya: “Apa yang sebenarnya terjadi dengan generasi digital saat ini?”
Apa itu Brainrot dan Konten Anomali?
Secara harfiah, brain rot berarti “pembusukan otak”. Namun dalam istilah kekinian, ini merujuk pada konten yang “merusak otak” bukan secara medis, melainkan secara kognitif dan psikologis, karena terlalu absurd, dangkal, dan seringkali tidak masuk akal. Tapi justru di situlah letak “hiburannya” bagi sebagian anak muda.
Fenomena Italian Brainrot yang viral di TikTok adalah salah satu contohnya. Video-video ini menampilkan karakter absurd hasil rekayasa AI—seperti hiu berkaki, kentungan berkepala manusia, atau seorang penari balet dengan kepala yang menyerupai secangkir kopi panas. Narasi yang dibacakan pun tak kalah aneh, sering kali dengan suara AI yang kaku dan tanpa konteks yang jelas. Video seperti ini bisa mencapai jutaan penonton. Misalnya, konten “Tung Tung Tung Sahur” buatan @noxaasht bahkan ditonton lebih dari 65 juta kali.
Apa Daya Tariknya?
Dilansir dari Parapuan, untuk generasi muda, terutama Gen Z dan Gen Alpha, hidup di dunia digital bukan sekadar hiburan tapi juga sebagai pelarian. Dalam riset oleh Emilie Owens dari University of Oslo, remaja menyebut brainrot sebagai bentuk relaksasi dari tekanan sehari-hari: berita perang, tugas sekolah, krisis iklim, hingga tekanan sosial.
Di sini, brainrot bukan hanya genre konten. Ia adalah ruang kosong untuk tertawa tanpa perlu berpikir, melupakan beban sejenak, dan itu sah-sah saja. Masalahnya muncul ketika konsumsi ini menjadi berlebihan, terutama pada anak-anak, yang struktur pikir dan logikanya masih berkembang.
Bahaya yang Tak Terlihat
Dikutip dari Tirto.id, seorang psikolog klinis anak dan keluarga, Anna Surti Nina dan pegiat pengasuhan Ikma Hanifah Restisari, mengingatkan bahwa konsumsi konten anomali secara berlebihan bisa mengarah pada gejala brainrot pada anak. Ini bukan berarti otak mereka membusuk secara literal, melainkan menurunnya kemampuan berpikir logis, fokus, dan membedakan fakta dan fantasi.
Beberapa dampaknya antara lain:
- Anak tidak lagi tertarik dengan konten edukatif
- Sulit membedakan mana dunia nyata dan fiksi.
- Cenderung pasif saat menonton
- Ketergantungan pada efek visual dan suara ekstrem
Bukan Melarang, Tapi Membimbing
Sumber gambar: Freepik
Psikolog anak Mutia Aprilia menyarankan agar orang tua tidak langsung melarang konten anomali, tapi mendampingi dan mengkurasi. Karena jika anak mengenal dari teman sebayanya tanpa penjelasan yang tepat, itu justru lebih berbahaya.
Pemerintah sendiri, melalui Dirjen Pengawasan Ruang Digital Alexander Sabar, tengah menggodok aturan lewat Peraturan Pemerintah Tata Kelola Sistem Elektronik dan Perlindungan Anak, untuk mengatur jenis konten dan layanan digital yang layak dikonsumsi oleh anak-anak.
Namun, regulasi tak cukup tanpa kesadaran kolektif. Sekolah, komunitas, dan relawan perlu terlibat aktif dalam upaya literasi digital.
Lalu, Apa Hubungannya dengan Kerelawanan?
Sebagai relawan, aktivis, atau siapa pun yang peduli dengan masa depan bangsa, kita bisa belajar dari fenomena ini:
1. Empati bukan komoditas
Konten brainrot terkadang menumpulkan empati. Di tengah tawa akan karakter absurd, kita lupa bahwa banyak orang di sekitar membutuhkan perhatian nyata, bukan hanya viralitas digital. Relawan harus kembali menempatkan empati sebagai pusat dari setiap aksi.
2. Literasi digital sebagai aksi sosial
Mengajak anak-anak memilah konten, membuat konten edukatif, atau menyelenggarakan kelas literasi digital bisa jadi bentuk kerelawanan modern. Ini bukan sekadar urusan teknologi, tapi soal masa depan daya pikir bangsa.
3. Menghargai proses, bukan sekadar hiburan instan
Kerelawanan mengajarkan nilai slow but real impact—berbeda dengan konten digital yang serba instan. Brainrot bisa menjadi refleksi bahwa masyarakat kita mulai kehilangan ketertarikan terhadap proses yang mendalam. Inilah saatnya mengembalikan nilai tersebut.
Dimulai dari Kita!
Fenomena brainrot seharusnya tidak langsung ditolak mentah-mentah. Ia bisa menjadi pintu masuk untuk berdiskusi, mendampingi, bahkan menciptakan alternatif konten yang lebih sehat dan tetap seru. Kita bisa menjadi bagian dari solusinya, bukan hanya komentatornya.
Melalui #JadiBelajar kali ini, kita belajar bahwa tidak semua hal viral itu sehat. Tapi dari sesuatu yang viral pun, kita bisa menggali makna dan mengubahnya menjadi gerakan. Baik sebagai orang tua, kakak, guru, maupun relawan—kita semua punya peran menjaga arah literasi digital generasi masa depan.
Kalau kamu peduli dengan isu ini, kamu bisa bergabung sebagai relawan di komunitas literasi digital atau parenting yang ada di Indorelawan.org. Di sana, kamu bisa belajar, berbagi, bahkan menciptakan dampak nyata yang melampaui sekadar trending topic.
Referensi:
- https://tirto.id/konten-brain-rot-ramai-di-medsos-apakah-bahaya-untuk-anak-hbBV
- https://www.parapuan.co/read/534250271/brainrot-anomaly-apa-yang-perlu-dikhawatirkan-ketika-konten-absurd-jadi-hiburan-digital?page=all#goog_rewarded
- https://www.kompasiana.com/karnitakar4943/682de71ec925c46210196733/konten-anomali-dan-ancaman-brain-rot-yuk-coba-kita-cari-solusinya?page=all#goog_rewarded
- Cover dari RRI
Penulis: Nabila Aprisanti
Penyunting: Renita Yulistiana