Di sudut kampung yang mungkin jarang masuk radar media, seorang perempuan luar biasa bernama Catur Hayati atau yang akrab disapa Yati, membuktikan bahwa pendidikan tidak selalu dimulai dari ruang kelas formal. Dengan latar belakang pendidikan hanya sampai SD, Yati telah menciptakan perubahan besar lewat Rumah Baca Fanelia (RBF)—sebuah ruang kecil yang kini menjadi harapan baru bagi anak-anak di sekitarnya.
Membangun Harapan dari Keterbatasan
Yati adalah sosok tangguh berusia 46 tahun yang tidak membiarkan keterbatasan pendidikannya menjadi penghalang untuk berbagi ilmu dan cinta membaca. Ia memulai Rumah Baca Fanelia dengan satu niat sederhana: menebar kebaikan dan membiasakan anak-anak untuk mencintai buku. Apa yang memicunya? Sebuah momen sederhana: melihat tukang becak membawa buku untuk pelanggannya.
Dari situ, Yati berpikir, “Kalau tukang becak saja bisa mengenalkan budaya baca, kenapa saya tidak?”
Mulai dari pertanyaan sederhana itu, lahirlah rumah baca yang kini menjadi tempat belajar gratis bagi anak-anak, terutama mereka yang sebelumnya lebih akrab dengan layar gadget daripada halaman buku.

Aktivitas Literasi dan Pendidikan Gratis
Rumah Baca Fanelia bukan sekadar rak-rak berisi buku. Tempat ini menjadi wadah berbagai kegiatan edukatif. Salah satu program yang paling berkesan adalah kelas “Sinau Bareng Hompimpah”, yang berlangsung dari tahun 2021 hingga 2023. Program ini menyasar anak-anak usia pra-PAUD dan TK dengan pengajaran dasar Calistung secara gratis.
Berbeda dari les privat yang sering menekankan hafalan, Yati mengembangkan metode belajar dari nol yang lebih menyenangkan dan mudah dipahami anak-anak. Meskipun saat ini kelas tersebut tidak seaktif dulu karena kondisi kesehatannya menurun, Yati tetap membuka peluang bagi siapa pun yang ingin bergabung, bahkan berencana mengadakan kelas public speaking dengan bantuan mentor profesional.
Tantangan dalam Perjalanan Literasi
Tidak mudah membangun dan mempertahankan sebuah rumah baca di tengah masyarakat yang masih belum sepenuhnya sadar akan pentingnya budaya membaca. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Yati adalah kondisi kesehatannya yang fluktuatif. Mengajar anak-anak yang belum mengenal huruf dan angka jelas membutuhkan energi ekstra.
Di sisi lain, ia juga harus berhadapan dengan tantangan digital, di mana anak-anak lebih tertarik pada gadget daripada buku. Untuk mengatasi hal ini, Yati menyisipkan permainan tradisional seperti egrang, hullahop, dan dakon dalam sesi-sesi membaca. Strategi ini berhasil menarik minat anak-anak, dan perlahan tapi pasti, mereka mulai menyukai membaca dan mengenal cerita-cerita yang memantik imajinasi mereka.

Dukungan Keluarga, Kekuatan yang Tak Tergantikan
Kesuksesan Yati tidak lepas dari dukungan orang-orang terdekat, terutama sang suami. Dalam setiap langkah perjuangan mendirikan dan menjalankan RBF, suaminya selalu hadir, baik secara moral maupun fisik. Tak kalah penting, teman-teman dan kerabat memberikan semangat dengan pesan-pesan sederhana tapi membekas.
“Jadilah manusia yang menyenangkan di mana pun kita berada.”
Pesan-pesan ini menjadi bahan bakar semangat Yati untuk terus bertahan, bahkan ketika kondisi fisik dan finansial tak selalu memihak.
Momen Penuh Arti
Dari sekian banyak hal yang terjadi, ada satu momen yang sangat membekas bagi Yati: ketika anak-anak yang dulunya kecanduan gadget akhirnya mulai menyukai buku. Bagi Yati, itu adalah momen kemenangan.
“Saya bangga bisa melakukan perubahan kecil yang dampaknya luar biasa. Ketika mereka mulai membaca, belajar, dan menyukai cerita, rasanya semua perjuangan saya terbayar lunas,” tuturnya dengan mata berbinar.
Mimpi yang Terus Menyala
Meski kini Rumah Baca Fanelia berjalan dengan lebih santai karena keterbatasan waktu dan tenaga, mimpi Yati belum padam. Ia berharap suatu hari nanti, RBF bisa berkembang menjadi pusat edukasi yang lebih luas, bahkan memiliki armada keliling buku yang bisa menjangkau anak-anak di kampung-kampung terpencil.
Bagi Yati, mengajar dan berbagi adalah bentuk rasa syukur atas hidup. “Saya hanya lulusan SD, bahkan SMP pun cuma sebentar menjelang ujian. Tapi lewat Rumah Baca Fanelia, saya merasa jadi guru. Saya belajar untuk mengabdi, meski dengan segala keterbatasan saya,” ungkapnya penuh haru.
Pesan Yati untuk Generasi Muda
Di tengah dunia yang serba cepat dan digital, Yati mengingatkan anak muda untuk tidak melupakan pentingnya waktu dan kontribusi sosial. Menurutnya, setiap orang punya 24 jam yang sama dalam sehari. Jika kita menyisihkan sedikit saja waktu untuk menebar kebaikan, maka itu sudah sangat berarti.
“Jangan hanya mencari dunia, tapi yuk cari bekal akhirat. Tebar kebaikan, sekecil apa pun itu, akan selalu ada nilainya.”
Ayo Bergerak Bersama
Cerita Catur Hayati adalah bukti bahwa satu orang bisa membuat perbedaan besar. Dari ruang baca sederhana, lahir harapan-harapan baru. Jika kamu merasa terinspirasi dan ingin mengambil bagian dalam gerakan pendidikan dan literasi anak, yuk mulai sekarang!
Jadilah relawan di komunitas seperti Rumah Baca Fanelia atau platform seperti Indorelawan, dan ikut menyuarakan semangat perubahan. Mari kita sama-sama jadi bagian dari #JadiAktivis, dan ciptakan masa depan yang lebih cerah untuk anak-anak Indonesia.
Penulis: Nabila Aprisanti
Penyunting: Renita Yulistiana
Cerita dan dokumentasi ini diambil dari proses wawancara bersama narasumber