Jadi relawan itu bikin ketagihan. Bahagia bertemu relawan lain, terinspirasi melakukan sesuatu untuk orang lain, mendesakmu untuk terus-menerus terlibat dalam banyak komunitas. Namun, terlalu banyak jadi relawan, juga bisa berbahaya. Apa saja “bahaya” yang harus kamu perhatikan?
1. Terjebak Mimpi: mau sampai kapan jadi relawan?
“Habis setahun mengajar di daerah, mau ngapain lagi?”
“Duh, kangen nih mau pergi lagi ke daerah. Ada nggak ya kegiatan relawan yang bisa mengirim saya ke pelosok lagi?”
“Mau sampai kapan kamu jadi relawan terus?”
Pernah tinggal di daerah membuat saya terbuai. Hidup di desa, jauh dari peradaban kota, menggoda saya untuk terus-terus mencari kegiatan kerelawanan di daerah. Mau sampai kapan? Teman saya, seorang konsultan untuk yayasan lingkungan mengingatkan. Hati-hati dengan rasa bahagia yang memabukkan yang bisa membuat kita lupa dengan prioritas masa depan. Jadi relawan bukan sekadar memenuhi hasrat untuk berbagi. Jadi relawan pun harus bertujuan, harus bisa mendekatkanmu dengan masa depan atau karier yang kamu rencanakan.
2. Jebakan Motivasi: jadi relawan ingin berbagi atau demi arogansi?
Terlibat dalam kegiatan masyarakat memang jadi poin lebih untuk melamar kerja atau melamar beasiswa. Aktif di komunitas bisa jadi titik penting dalam membangun karier. Berbeda dengan dunia kerja, kamu dituntut kompetitif dan menunjukkan talenta. Di dunia kerelawanan, kamu dituntut membagi talenta yang kamu punya untuk orang lain. Hanya fokus pada keuntungan yang kamu kejar, kamu bisa lebih sering dikecewakan oleh ekspektasimu. Karena dalam setiap kerelawanan, kamu dituntut mengerjakan lebih dari yang seharusnya.
Apakah dengan semakin seringnya kamu aktif di komunitas, kamu menjadi sosok yang penting? Di dunia kerja, jabatan menentukan identitas diri. Di dunia kerelawanan siapa kamu tidaklah penting. Saya pernah bekerja dengan CEO perbankan yang meluangkan waktu untuk mengajar di pelosok Indonesia, ketua komunitas pemuda yang mantan pengguna narkoba, supir yang merintis perpustakaan di desanya. Semakin sering kamu menceburkan diri dalam komunitas, semakin sering kamu memahami, kamu tidak dinilai berdasarkan kemampuanmu, kepintaranmu, masa lalumu. Kamu dinilai dengan motivasimu.
Tidak ada yang salah kamu menyebutkan sederetan komunitas yang kamu ikuti atau membanggakan kemampuan yang kamu miliki. Namun ingat, relawan yang bekerja bersamamu, selalu ada orang yang lebih tinggi darimu, tetapi memilih bekerja dalam diam dan tulus.
3. Jebakan Jadi Orang Sibuk: karena bosan dengan rutinitas, maka cari komunitas?
Saat kerelawanan menjadi gaya hidup, akhir pekan selalu sibuk. Bertemu komunitas seperti candu, daripada diam di rumah dan menganggur. Jadi… kegiatan kerelawanan hanya untuk mengisi waktu?
Hati-hati terjebak dengan kesibukan: kamu ada di mana-mana, tetapi tidak berada di mana pun. Kerelawanan bukan tentang sekadar mengerjakan tugas. Kerelawanan berarti hadir untuk relawan lain dalam komunitas, berbagi semangat untuk menghidupkan misi sosial yang dijalankan. Jika kamu punya banyak peran, tetapi suka terlambat mengerjakan tugas di sini, tidak bisa hadir dalam rapat komunitas yang lain, tanggung jawab relawan malah memakan jam kerjamu di kantor… itu peringatan kamu tidak fokus pada kegiatan mana pun.
Kerelawanan dibangun atas kepercayaan. Kepercayaan dibangun dengan konsistensi menjalankan peran, bukan sekadar mencari kesibukan.
4. Jadi relawan untuk melatih kepekaan sosial? Sudah peka dengan keluarga di rumah?
“Ma, tiga hari ke depan, aku jadi relawan penerjemah di kegiatan A.”
“Kenapa nggak jadi relawan nyetrika aja di rumah?”
Sindiran Mama mengingatkan saya bahwa keluarga adalah prioritas penting. Aktif di komunitas jangan sampai melupakan orang-orang terdekatmu. Bisa melayani dan berbagi dengan orang lain, mengapa sulit menyediakan waktu untuk keluarga di rumah? Bisa hadir untuk orang asing, jangan sampai lupa nongkrong bareng dengan sahabatmu.
“Kamu terlalu sibuk nih. Sampai nggak pernah jalan lagi sama temanmu.” Teman saya mengingatkan di antara akhir pekan yang padat dengan kegiatan ini itu. Jangan sampai kepedulianmu terhadap masyarakat malah meruntuhkan kepedulianmu terhadap orang-orang terdekat.
Merasa ada dalam satu jebakan di atas? Atau terjebak dalam ketiganya? Jangan berkecil hati. Jadi relawan adalah proses reflektif. Kamu tidak hanya dituntut untuk berbagi, tetapi juga terus memperbaiki diri. Di situlah nilai lebih jadi relawan: semakin sering kamu berbagi, semakin rendah hati dirimu untuk menjadi lebih baik.