Kerelawanan: Jalan Kecil Menemani Mereka yang Berduka

Kerelawanan: Jalan Kecil Menemani Mereka yang Berduka

Berdasarkan data yang tercatat di Goodstats, di Indonesia terdapat 1.023 kasus bunuh diri pada Januari-Oktober 2024. Angka tersebut terus meningkat setiap bulannya, dan banyak terjadi kalangan remaja. Ada banyak faktor pemicu yang melatarbelakanginya, mulai dari keluarga, kondisi psikologis, bullying, hingga perasaan kehilangan dan kesepian. Di titik inilah, muncul pertanyaan: bisakah kerelawanan hadir untuk menemani dan berbagi duka?

Grief yang Sering Diabaikan

Grief (kehilangan) adalah perasaan universal yang valid, tetapi dalam budaya kita sering kali dinormalisasikan seolah-olah harus cepat dilupakan. Kehilangan orang terkasih, pekerjaan atau bahkan harapan dalam hidup, kerap disambut dengan kalimat: “sudah, jangan sedih lagi,” atau “yuk, cepat move on hidup harus terus berjalan.” Kalimat-kalimat ini tanpa sadar menekan mereka yang berduka untuk segera “kuat”, padahal duka itu sendiri adalah bagian dari proses manusiawi.

Tekanan sosial seperti ini justru bisa membuat banyak orang yang berduka merasa sendirian. Tanpa ruang aman atau pendampingan, mereka bisa terjebak dalam kesepian yang mendalam, dan ketika dukungan sosial yang diharapkan tak kunjung datang, duka itu berubah menjadi isolasi. Sebuah riset bahkan menunjukkan, grief yang tidak terproses akan berkaitan erat dengan meningkatnya resiko bunuh diri.

Artinya, kehilangan bukan hanya fase emosional biasa, tapi sebuah faktor serius yang bisa menyentuh kesehatan mental bahkan keselamatan hidup seseorang.

5 Tahapan Berduka 

Banyak orang mengalami fase-fase tertentu dalam proses berduka, meski urutannya bisa berbeda untuk setiap orang.

  1. Fase penyangkalan (denial)
    Saat sesuatu tidak berjalan sesuai dengan yang kita bayangkan atau harapkan, kita cenderung menyangkalnya. Proses ini memberi waktu bagi orang yang berduka untuk mencerna informasi dan memahami apa yang sedang terjadi. 
  2. Fase kemarahan (anger)
    Saat mulai menyadari kenyataan, akan muncul rasa marah terhadap diri sendiri, orang lain, atau bahkan hal lain yang bisa dijadikan pelampiasan. Hal ini wajar terjadi karena rasa marah merupakan bentuk penyesuaian. 
  3. Fase penawaran (bargaining)
    Lalu, muncul pemikiran “andai saja” atau “kalau saja hal itu tidak terjadi”. Ada dorongan untuk selalu berandai-andai dan berjanji akan menjadi pribadi yang lebih baik.
  4. Fase depresi (depression)
    Saat kesedihan semakin dalam. Biasanya, orang lebih sering menyendiri dan menangis, atau bahkan bisa berpikir untuk mengakhiri hidup. 
  5. Fase penerimaan (acceptance)
    Pada fase ini, seseorang mulai berdamai dengan kenyataan. Bukan berarti kesedihan itu sudah hilang, tetapi emosi di dalam diri lebih terkendali dan menyadari bahwa hidup berjalan berdampingan dengan rasa duka.

Semua tahapan ini tidak bisa dipaksakan. Kerelawanan hadir untuk menjadi salah satu dan memberi ruang agar setiap fase bisa dilalui tanpa rasa terisolasi.

Kerelawanan sebagai Teman Bagi Mereka yang Berduka

Di sinilah kerelawan hadir. Menjadi relawan bisa berarti menyediakan “ruang” bagi mereka yang berduka. Dengan hadir, mendengarkan, atau bahkan membiarkan seseorang menangis, marah, atau sekadar diam, kita sedang memberi mereka sebuah ruang yang mereka butuhkan.

Kadang, kehadiran relawan bisa membantu seseorang melihat bahwa berjalan maju bukan berarti harus melupakan kesedihan. Justru dengan membiarkan rasa itu hadir, kita belajar bahwa ‘kekuatan’ adalah kemampuan untuk hidup berdampingan dengan duka, bukan menolaknya. Kehadiran aktivitas relawan bisa menjadi “teman” seseorang yang merasa sendirian atau “tertinggal” hanya karena masih merasakan kesedihan.

Selain itu, kerelawanan dapat menjadi jembatan menuju komunitas atau bantuan lainnya. Melalui kerelawanan, seseorang bisa dibawa ke kegiatan yang kreatif, dipertemukan dengan orang yang pernah mengalami hal sama, atau bahkan diarahkan ke tenaga profesional.

Kamu pun Bisa Mulai dari Langkah Kecil…

Melalui Bali Bersama Bisa, kamu bisa menjadi E-Zine contributor untuk edisi “Still Growing, Even When Grieving.” Lewat tulisan atau ilustrasi, kamu bisa menyumbangkan ruang healing bagi mereka yang sedang berduka. Walau tidak selalu hadir secara langsung, kontribusimu tetap berarti. Menjadi relawan tidak hanya berkarya, tetapi juga membuka ruang agar rasa kehilangan tidak berubah menjadi isolasi dan keputusasaan.

Hotline

Menghadapi duka bukanlah hal yang mudah, tapi bukan berarti tidak ada bantuan. Jika ada orang di sekitarmu yang membutuhkan pertolongan, beberapa layanan ini bisa dihubungi: 

  1. Layanan 119 ext.8 atau Healing119.id
    Layanan 24 jam yang disediakan oleh Kementerian Kesehatan, yang memberikan dukungan emosional, konsultasi dasar, dan rujukan ke fasilitas kesehatan atau profesional sesuai kebutuhan. Layanan ini bisa melalui panggilan suara atau pesan teks.
  2. Lisa Suicide Prevention Helpline
    Layanan dukungan mental dan psikososial yang inklusif, tersedia dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia (+628113855472) dan bahasa Inggris (+628113815472). Program ini dibentuk melalui hasil kolaborasi 11 LSM di Bali (Bali Bersama Bisa) untuk mendukung kesehatan mental individu dan masyarakat di Bali serta seluruh Indonesia.

Dengan menjadi pendengar, pemberi ruang, atau hanya sekedar hadir mereka yang sedang berduka, relawan membantu seseorang melewati fase tersulit dalam hidupnya.

Growing up doesn’t mean erasing sorrow, but learning to understand it as part of our humanity.

Kalau kamu cari kegiatan relawan lain untuk mendukung kesehatan mental, bisa kunjungi langsung Indorelawan.

Referensi:

  1. Statistik Angka Bunuh Diri
  2. Angka Kasus Bunuh Diri di Indonesia
  3. Tahapan Griefing
  4. 5 Stages of Grief
  5. Layanan 119
  6. LISA

Penulis: Najwa Salsabila
Proofreader: Nabila Aprisanti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *