Poverty Porn dan Seni Melihat dengan Empati

Poverty Porn dan Seni Melihat dengan Empati

Pernah nggak kamu melihat sebuah video di media sosial yang menampilkan seorang anak kecil berpakaian lusuh, wajahnya murung, dengan rumah seadanya di belakangnya? Di akhir video, muncul ajakan untuk berdonasi atau “bantu mereka agar bisa sekolah”. Sekilas terlihat mulia, tapi pernahkah kamu berpikir: apakah anak itu tahu bahwa wajahnya disebarkan ke jutaan orang? Apakah ia setuju kisah hidupnya dijadikan konten?

Fenomena seperti ini disebut dengan poverty porn atau kalau diterjemahkan secara bebas, “pornografi kemiskinan.” Istilah ini bukan bermaksud kasar, tapi menggambarkan bagaimana penderitaan seseorang dijadikan “bahan tontonan” untuk mendulang simpati, perhatian, bahkan keuntungan.

Apa itu Poverty Porn?

Poverty porn adalah ketika seseorang menampilkan kemiskinan secara berlebihan di media, baik foto maupun video, dengan tujuan menggugah emosi audiens, terutama rasa kasihan, tanpa memberikan konteks yang memadai. Biasanya, yang ditonjolkan adalah kesedihan, air mata, dan kondisi ekstrem, bukan kekuatan atau perjuangan orang di baliknya.

Istilah ini pertama kali populer pada 1980-an, ketika konser amal Live Aid menayangkan foto-foto anak-anak Afrika yang kelaparan. Gambar-gambar itu berhasil mengumpulkan donasi besar, tapi di sisi lain menuai kritik karena mengabaikan martabat dan kompleksitas kehidupan mereka. Sejak saat itu, istilah poverty porn mulai digunakan untuk menyoroti cara orang atau lembaga menggalang bantuan sosial yang hanya berfokus pada kesedihan demi tujuan promosi atau keuntungan.

Poverty Porn di Era Digital

Hari ini, siapa pun bisa menjadi “content creator.” Platform seperti TikTok, YouTube, dan Instagram membuat semua orang mudah berbagi cerita, termasuk cerita kemanusiaan. Sayangnya, tren ini juga membawa sisi gelap, yaitu: makin banyak konten yang memperlihatkan penderitaan tanpa konteks.

Contohnya, video seseorang yang “mendadak” memberi uang ke orang tua yang sedang bekerja di jalanan, atau memperlihatkan rumah-rumah warga miskin dengan narasi dramatis. Sekilas terlihat mengharukan, tapi banyak dari video itu dibuat tanpa izin, tanpa penjelasan latar belakang, dan hanya demi engagement.

Yang lebih memprihatinkan, beberapa di antaranya bahkan tidak benar-benar menyalurkan donasi atau bantuan. Penderitaan dijadikan bahan tontonan, bukan bahan pembelajaran.

Kenapa ini Bisa Jadi Masalah?

Poverty porn memang sering dimulai dari niat baik, tapi bisa menimbulkan dampak negatif yang tidak disadari.

1. Merendahkan martabat

Ketika kemiskinan hanya ditampilkan lewat wajah sedih atau kondisi memprihatinkan, tanpa konteks yang jelas, publik hanya melihat rasa “kasihan”, bukan sebagai manusia yang utuh. Orang-orang yang hidup dalam kemiskinan jadi seolah tidak punya suara, tidak punya kemampuan, dan hanya sebagai “objek penderitaan”.

Padahal, setiap orang punya cerita, daya juang, dan martabat yang perlu dihormati.

2. Menciptakan stereotip

Konten semacam ini menumbuhkan stereotip bahwa orang miskin itu pasif, tidak berdaya, dan hanya menunggu bantuan. Stereotip ini memperkuat jarak antara “pemberi” dan “penerima”, menciptakan relasi yang timpang.

Alih-alih membangun solidaritas, ia hanya menumbuhkan rasa belas kasihan sepihak.

3. Mengaburkan akar masalah

Poverty porn membuat orang hanya berhenti di “rasa iba”, bukan pemahaman. Penonton tidak diajak untuk memahami mengapa kemiskinan terjadi, apakah karena ketimpangan pendidikan, akses ekonomi, atau kebijakan sosial. Akibatnya, banyak yang berdonasi impulsif, tapi tidak tahu bagaimana memperbaiki sistem yang lebih besar.

4. Menyebabkan trauma bagi narasumber

Bayangkan jika kisah dan wajah seseorang tersebar luas tanpa persetujuan. Dalam banyak kasus, hal ini bisa menimbulkan rasa malu, kehilangan privasi, bahkan trauma psikologis.

Bagaimana Cara yang Etis?

Kalau kita ingin mengangkat kisah tentang kemiskinan atau ketimpangan sosial, bukan berarti itu dilarang. Justru penting untuk terus berbicara soal isu-isu sosial, tapi dengan cara yang etis dan berempati.

Berikut prinsip yang bisa kita pegang sebagai relawan dan pembuat konten:

1. Gunakan pendekatan yang berfokus pada kekuatan

Alih-alih hanya menyorot kesedihan, sorot lah ketangguhan, harapan, dan inisiatif dari individu tersebut. Tunjukkan bagaimana seseorang beradaptasi, berjuang, atau mengubah nasibnya. Dengan begitu, narasinya berubah dari rasa “kasihan” menjadi sesuatu yang “inspiratif.”

2. Berikan konteks yang jelas

Ceritakan latar belakang masalah secara utuh. Jelaskan apa yang membuat situasi itu terjadi dan langkah apa yang bisa dilakukan untuk memperbaikinya. Dengan konteks, audiens tidak hanya merasa iba, tapi juga memahami apa yang sedang terjadi.

3. Libatkan suara penerima manfaat

Beri ruang bagi mereka untuk bicara, bukan hanya dibicarakan. Tanyakan pendapat, minta izin untuk menggunakan foto atau cerita mereka. Dengan cara ini, mereka menjadi subjek yang memiliki kendali atas narasinya sendiri.

4. Hormati privasi dan martabat

Selalu minta izin sebelum mengambil foto atau video. Jangan tampilkan wajah anak-anak atau individu tanpa persetujuan. Gunakan sudut pengambilan gambar yang aman, dan sampaikan dengan empati.

5. Fokus pada perubahan, bukan kesedihan

Bangun narasi yang menggerakkan. Bukan “lihat, kasihan mereka,” tapi “lihat, mereka berdaya dan kita bisa mendukung perjuangan mereka.”

Kita Bisa Jadi Bagian dari Perubahan

Sebagai relawan, kita sering berada di garis depan dalam menyampaikan cerita, dari dokumentasi lapangan, media sosial, hingga laporan kegiatan. Kita punya tanggung jawab besar agar cerita yang disebarkan tidak sekadar menggugah emosi, tapi juga membangun kesadaran dan keadilan sosial.

Poverty porn bukan hanya tentang salahnya cara bercerita, tapi tentang bagaimana kita memandang kemanusiaan itu sendiri. Setiap orang, siapa pun dia, pantas dihormati dan dilihat sebagai manusia yang utuh.

Jadi, sebelum mengunggah foto atau video dari lapangan, yuk tanya dulu pada diri sendiri:

“Apakah konten ini bisa menguatkan martabat seseorang atau justru menjadikannya tontonan semata?”

Dengan refleksi seperti itu, kita tidak hanya menjadi relawan yang peduli, tapi juga relawan yang bijak.

Membantu orang lain adalah hal mulia, tapi cara kita membantu juga menentukan dampaknya. Mari belajar untuk lebih peka, berempati, dan etis dalam berbagi cerita. Karena pada akhirnya, menjadi relawan bukan hanya soal memberi, tapi juga menghargai kemanusiaan. 

Kalau kamu ingin belajar lebih jauh tentang bagaimana menjadi relawan yang bijak, beretika, dan berdampak, yuk kunjungi Indorelawan.org untuk menemukan berbagai kegiatan relawan yang bisa kamu ikuti. Di sana, kamu bisa mulai langkah kecilmu untuk berkontribusi dengan cara yang bermartabat dan penuh empati.

Preferensi: 

  1. Tiktok dan Wajah Kemiskinan: Tinjauan Hukum Siber Indonesia Terhadap Eksploitasi Online
  2. Poverty Porn, Digital Literacy and Media Ethics: Bridging Dignity Gaps from Exploitation to Empowerment
  3. Pakar Media UNAIR Sebut Konten Kemiskinan Sebagai Bentuk Poverty Porn
  4. Poverty Porn: Ketika Kemiskinan Dieksploitasi untuk Konten

Penulis: Najwa Salsabila
Proofreader: Nabila Aprisanti
Approval: Indorelawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *