Indorelawan menginisiasi Temu dan Kenali (TEMALI) Project 2023 merupakan program kolaborasi bersama Indika Foundation yang meningkatkan kapasitas bagi komunitas sosial dalam menerapkan prinsip perdamaian dan Inklusivitas. Salah satu peserta komunitas, yaitu Traditional Games Returns (TGR) memiliki kegiatan untuk melestarikan permainan tradisional serta mengembalikan antusiasme anak-anak Indonesia untuk kembali bermain permainan tradisional di era modern ini.
Kak Nina sebagai founder TGR bercerita kepada Indorelawan tentang bagaimana proses merancang proyek sosial dalam TEMALI kali ini. Menariknya, mereka menemukan judul yang sama dengan program Indorelawan: Teman Main Lintas Generasi atau yang disingkat TEMALI. Fokusnya adalah bermain sambil belajar toleransi antara anak-anak dan relawan yang mayoritas adalah anak muda. Melalui tema toleransi yang diusung dalam TEMALI kali ini, tim TGR mencari informasi mengenai daerah-daerah yang bisa di intervensi dan kira-kira masalah sosial apa yang terjadi di sana.
Cerita Proyek Sosial
Awalnya proyek sosial ini hanya ingin dilakukan di Jakarta, namun relawan TGR ternyata ada yang berasal dari Maluku dan Aceh. Mereka tertarik untuk membuat kegiatan di sana, hal ini dirasa Kak Nina seperti gayung bersambut, karena berdasarkan cerita kakak relawan di Maluku, daerah ini sering sekali terjadi kerusuhan. Sedangkan di Aceh, masyarakatnya justru terlalu homogen, yang juga bisa menimbulkan intoleransi. Lalu, di Jakarta dipilih wilayah Manggarai, Jakarta Selatan yang kerap kali juga sering terjadi tawuran antar warga sehingga anak-anak di wilayah-wilayah tersebut rentan sekali dengan kekerasan.
Hal baru yang Kak Nina dan teman-teman TGR rasakan dalam persiapan proyek sosial ini adalah bagaimana sebuah riset itu penting sekali dalam persiapan. Sebelum ikut TEMALI Project, mereka tidak menyeleksi atau mencari tahu tentang daerah kegiatan, yang penting ada anak-anak di sana. Namun setelah mengikuti kelas-kelas TEMALI salah satunya tentang merancang proyek sosial, mereka mencari tahu lebih dalam/melakukan riset terlebih dahulu tentang latar belakang anak-anak di sana dan permasalahan sosial yang dialami anak-anak di sana seperti bullying, tawuran antar kelompok, atau lingkungan yang terlalu homogen, sehingga ketika mereka membuat proyek sosial akan dirasa kebermanfaatnya oleh anak-anak tersebut.
Ular Tangga sebagai Media Belajar
Pada akhirnya, diputuskan menggunakan ular tangga sebagai media penyampaian pesan. Di sisi lain, keputusan ini diambil karena TGR ingin memiliki produk yang dapat terlihat, bukan hanya sebagai aktivitas, melainkan juga sebagai sesuatu yang dapat dimainkan. Terlebih lagi, mengingat TGR juga di kegiatan-kegiatan rutinnya menggunakan ular tangga sebagai alat untuk mengajak anak bermain. Mereka ingin menciptakan suatu wujud mainan yang lebih konkret, bukan hanya sekadar ajakan seperti “Ayo, main gantian ya” atau “Ketika bermain, tidak boleh memilih-milih teman”. Oleh karena itu, keputusan diambil untuk membuat ular tangga sebagai produk akhir dari proyek ini.
Karena kakak-kakak TGR telah mendapatkan kelas-kelas dari TEMALI terutama kelas tentang inklusivitas, mereka memikirkan dengan sangat detail penggunaan kata, gambar dan memastikan adanya representasi anak-anak dari berbagai kelompok, gender, dan sejenisnya dalam ular tangganya. Mengenai pemilihan bahasa mereka sadar harus lebih memperhatikan kepekaan tertentu. Sebagai contoh, seorang anak yang terlibat dalam pertengkaran mungkin disebabkan oleh kalimat awal seperti “kamu jelek, warna kulitnya hitam”. Pernyataan semacam itu tidak mungkin ditulis dalam ular tangga, karena khawatir dapat menginspirasi perilaku ejekan. Oleh karena itu, menerjemahkan bahasa yang cukup sensitif menjadi tantangan tersendiri. Kesalahan dalam penerjemahan dapat berpotensi memberikan edukasi yang sebaliknya.
Kak Nina menyampaikan bahwa ia juga sampai melakukan pembacaan jurnal untuk memahami konsep inklusivitas, sehingga sumber informasi yang didapatkan bisa di cek kevalidan datanya atau informasinya. Selain itu, ia dan teman-teman TGR juga mencari model pembelajaran toleransi yang telah diimplementasikan pada anak-anak kecil, untuk dijadikan bahan diskusi dengan timnya. Tak terkecuali juga mengumpulkan referensi dari media sosial seperti infografis atau konten yang berkaitan dengan tema toleransi, baik melalui pencarian di Google maupun Instagram.
Dalam kolaborasi dengan tim ketika pembuatan ular tangga, awalnya hanya 3 orang yang bertugas membuat ular tangga ini, ternyata kakak-kakak relawan lain juga ingin terlibat dan membantu riset yang lebih mendalam, serta melakukan eksplorasi untuk memperkaya wawasan terkait tema toleransi ini. Dikarenakan banyak ide-ide yang terkumpul, maka ada beberapa kali revisi sebelum akhirnya selesai dibuat. Sebagai contoh, dalam tahap pembuatan gambar, pertanyaan seperti “Kok perempuan semua?” ditanggapi dengan adanya penambahan gambar anak laki-laki, guna memastikan representasi gender yang seimbang.
Belajar lewat Glosarium
Dalam pembuatan ular tangga ini, TGR memperkenalkan kata-kata baru kepada anak-anak. Oleh karena itu, ada glosarium di bagian bawah permainan. Glosarium ini mencakup penjelasan mengenai konsep keberagaman, singkatan SARA, dan sebagainya. Secara umum, dalam setiap permainan ular tangga, biasanya memulai dengan kotak pertama yang berisi pesan “Berdoa Sebelum Bermain”. Untuk ular tangga spesial tentang TEMALI, kami merancang kotak tersebut dengan memasukkan doa-doa dari enam agama yang diilustrasikan secara gambar. Konsep utama yang ingin disampaikan adalah “Mari Berteman”, yang mana anak-anak diajak untuk bermain bersama, termasuk dengan teman-teman yang berbeda agama.
Contoh lainnya : jika seorang anak berhenti di kotak “Mari Berteman”, mereka diajarkan bahwa dalam bermain, tidak boleh memilih-pilih teman. Selain itu, jika ada gambar ular dalam kotak itu menunjukan sebab dan akibat. Sebagai contoh, jika seorang anak berhenti di kotak yang menggambarkan teman yang mendapat perlakuan buruk (kotak nomor 10) dan jika dia melakukan tindakan tersebut, dia turun ke kotak nomor 3. Hal ini dimaksudkan untuk mengajarkan bahwa perilaku seperti membully atau membeda-bedakan teman dapat memiliki konsekuensi negatif, dan perlu dihindari agar teman tidak merasa sedih, dan sebagainya.
Teman-teman TGR juga menyampaikan konsep bermain lintas generasi seperti namanya “Teman Main Lintas Generasi” dalam permainan ular tangga ini. Gambar-gambar yang disertakan menggambarkan situasi di mana anak-anak bermain bersama orang tua, baik itu ibu maupun ayah, serta adanya kehadiran anak-anak. Dengan memvisualisasikan hubungan bermain ini, TGR ingin menyampaikan pesan bahwa bermain tidak hanya terbatas pada pilihan teman sebaya, tetapi juga dapat melibatkan orang tua dan kakak-kakak relawan.
Setelah anak-anak bermain, ada hal yang ternyata terjadi di luar dugaan yakni munculnya diskusi-diskusi menarik antar anak. Mereka saling mengajarkan konsep-konsep tersebut satu sama lain setelah membaca kotak di ular tangga. Diskusi ini terjadi secara organik, di mana anak-anak membahas pengalaman mereka terkait toleransi. Terbentuklah seperti mini Focus Group Discussion (FGD) yang melibatkan partisipasi aktif dari anak-anak, yang selanjutnya membuka ruang untuk pembelajaran tak terduga, yang menarik juga adalah ketika mereka saling berbagi pengalaman pribadi. Sebagai contoh, ada anak yang menceritakan tentang pertemanan dengan teman sekelas yang memiliki perbedaan agama atau ras. Diskusi ini tidak hanya dipimpin oleh kakak-kakak relawan, tetapi melibatkan antusiasme anak-anak untuk saling belajar dan berbagi.
Selain itu, keaktifan belajar anak-anak tidak hanya dipacu oleh hadiah, tetapi juga oleh dorongan internal untuk memahami dan mempraktikkan konsep toleransi. Bahkan, ada anak yang bertanya kembali untuk meminta konfirmasi ke salah satu relawan, apakah perilaku seperti ini itu adalah contoh toleransi lalu dia bercerita tentang pengalamannya sendiri.
Inklusivitas yang Berdampak
Tim Indorelawan sangat berbangga hati dan juga senang sekali mendengar perubahan yang dirasakan oleh teman-teman TGR dalam mereka merancang proyek sosial. Karena kami melihat umumnya sebuah komunitas tahu secara teknis apa hal yang harus dilakukan untuk membuat sebuah proyek/ kegiatan sosial, namun mereka tidak menyadari bahwa ada langkah-langkah atau proses yang perlu dipikirkan sebelum membuat kegiatan. Seperti keterhubungan antara permasalahan sosial yang dialami dengan solusinya, siapa penerima manfaatnya dan apa kebutuhannya, dan terakhir output kegiatan atau perubahan yang ingin diukur.
Selain itu, melalui kelas-kelas materi, sharing dengan mentor dan fasilitator TGR juga menyadari bahwa anak-anak itu juga bermacam-macam latar belakangnya, ada anak dengan kursi roda, ada anak beragama selain Islam, dll. Bahkan mereka baru menyadari kalau selama ini mereka berkegiatan hanya di panti asuhan muslim saja sekarang mereka mulai memikirkan opsi untuk mengunjungi panti kristen dan berkegiatan dengan anak-anak disabilitas juga.
“Kalo dipikir-pikir dan diingat kembali, kami selama ini mainnya masih dominan yang di garis-garis aman, yakni ke kelompok marginal. Yang di ular tangga itukan ada representasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) itu juga harusnya jadi perhatian. Kami juga akhirnya jadi lebih merencanakan untuk lebih terbuka lagi dengan berbagai kelompok anak. Acara tanggal 18 November nanti kami akan berkegiatan di panti anak beragama Kristen. Karena kami sudah mengedukasi di permainan ular tangga bahwa agama itu berbeda-beda, masa mainnya hanya ke Islam doang. Akhirnya, kita jadi lebih terbuka dan mau mempraktikkan toleransi dan inklusivitas di program selanjutnya”, singkat Kak Nina.
Keberhasilan teman-teman TGR juga terlihat dari antusiasme pihak lain yang ingin mendapatkan ular tangga TEMALI ini, jadi selain 3 kota yakni di Jakarta, Maluku dan Aceh, ular tangga TGR juga sudah dibagikan kepada sekolah-sekolah, RPTRA, dan kelompok masyarakat lainnya sehingga mencapai 700 orang lebih penerima manfaat dari ular tangga TEMALI ini.
TGR kini menyadari pentingnya proses yang dipikirkan dengan baik dalam menciptakan kegiatan sosial, menekankan hubungan antara masalah sosial dan solusinya, mengidentifikasi penerima manfaat, dan memahami kebutuhan mereka. Selain itu, mereka menyadari keragaman di antara anak-anak, termasuk mereka yang memiliki disabilitas, mendorong mereka untuk mempertimbangkan inklusivitas dalam kegiatan mereka dengan menjelajahi berbagai institusi dan berinteraksi dengan anak-anak dari berbagai latar belakang dan keyakinan. Keterlibatan mereka di TEMALI dianggap transformasional karena menekankan pentingnya perencanaan, riset, dan inklusivitas dalam inisiatif komunitas yang berdampak. Kamu juga bisa ambil peran jadi relawan dan mendukung isu perdamaian melalui Indorelawan.org
Ditulis oleh Marsya Nurmaranti dan Gresy Kristriana dari hasil wawancara TEMALI Project 2023
Dokumentasi Traditional Games Returns